BAB II
PEMBAHASAN
2.1.
Karakteristik dan Kondisi Perekonomian Indonesia
Kondisi perekonomian Indonesia sangat tergantung
dengan daya dukungnya. Daya dukung ini terdiri dari beberapa variable yang
mempengaruhinya. Variable inipun juga tidak serta merta dapat memberikan
kontribusi kepada kondisi perekonomian Indonesia, namun masih ditentukan oleh
karakteristik dari variable tersebut. Dengan demikian, untuk melihat kondisi
perekonomian Indonesia, maka relevan diuraikan tentang karakteristik yang
melingkupinya.
Indonesia sebagai Negara kepulauan
memiliki ciri-ciri spesifik, yang berbeda dengan Negara-negara lain di dunia,
sehingga perekonomiannyapun tentu saja memiliki karakteristik sendiri, yang
berbeda pula dengan Negara lain. Karakteristik menunjukkan ciri yang mendasari
dari sebuah obyek. Adapun karakteristik perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh
:
a.
Faktor
Geografi
Indonesia adalah Negara kepulauan
terbesar di dunia yang terdiri dari 13.677 pulau yang terbentang dari 60
derajat lintang utara sampai 110 derajat lintang selatan sepanjang kurang lebih
61.146 km. Luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km2, 70% terdiri dari
lautan. Letaknya strategis karena berada pada posisi silang( antara benua Asia
dan Australia) dan menjadi jalur lalu lntas dunia (antara laut Atlantik dan
Pasifik). Kondisi ini menimbulkan kesulitan komunikasi dan transportasi antar
pulau, ketidaklancaran mobilitas barang, perbedaan kesempatan pendidikan dan
kesempatan kerja yang semuanya bermuara pada kesenjangan. Menurut
Sutjipto(1975), Indonesia dalam sector ekonomiterjadi perbedaan potensi ekonomi
karena perbedaan potensi sumber daya alam , sumber daya manusia, kesuburan
tanah, dan curah hujan.
b.
Faktor
Demografi
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun
2011 tercatat sebanyak 237.641.326 jiwa. Jumlah ini menjadikan Indonesia
sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar yang berada diurutan ke tiga. Penyebaran
penduduk tidak merata(2/3 tinggal di pulau Jawa). Sebagian besar hidup di
pedesaan , bermatapencaharian sebagai petani kecil dan buruh tani dengan upah
sangat rendah. Sector tenaga kerja masih didominasi jenjang pendidikan SD ke
bawah yaitu sekitar 54,2 juta orang (49,40%), sedangkan pekerja dengan
pendidikan diploma sekitar 3,2 juta orang(2,89%) dan pekerja dengan pendidikan
Sarjana hanya sebesar 5,6 juta orang (5,15%). Hal itu menunjukkan bahwa mutu
SDM masih rendah,yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Dengan jumlah
penduduk yang demikian besar, maka Indonesia membutuhkan berbagai barang, jasa
dan fasilitas hidup. Namun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak
sebanding dengan kemampuan berproduksi. Hal ni memicu munculnya kondisi rawan
kemiskinan.
c.
Faktor
Sosial, Budaya dan Politik
Aspek social ditunjukkan bahwa bangsa
Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan keragaman adat, budaya dan tradisi.
Hal ini tentu saja membuka potensi perbedaan dalam persepsi terhadap persolan
yang ada, yang berpotensi menimbulkan
konflik suku,agama, ras dan antar golongan(SARA). Aspek budaya ditunjukkan
adanya pengaruh feodalisme dan pengaruh kolonialisme yang masih ada hingga saat
ini. Hal ini terasa pada medan perpolitikan di Indonesia. Dalam bidang politik,
warisan kehidupan kerajaan yang membentuk feodalisme masih kental dalam
kehidupan bangsa Indonesia mulai dari tataran pusat hingga daerah. Kesemuanya
itu akhirnya menghambat terciptanya demokrasi ekonomi.
Berbasis karakteristik di atas, maka tentu
saja kondisi perekonomian Indonesia masih membutuhkan perhatian dari
penyelenggara Negara. Kondisi perekonomian suatu Negara menjadi target bagi
kondisi secara umum suatu Negara pula. Negara yang secara formalnya dijalankan
oleh kekuasaan melalui system birokrasinya, tentu mengharapkan kondisi
perekonomian yang dapat memberikan kemakmuran bagi penduduknya. Kegagalan
Negara dalam mengelola perekonomian dapat menjadi pemicu bagi munculnya
persolan pelik, dan akan menyeret Negara tersebut dalam pusaran ketidakpastian.
Ketidakpastian yang tidak bisa dikendalikan menjadi pembuka munculnya kegagalan
Negara.
Kegagalan
Negara dalam manajemen tata
penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan setidaknya telah dicermati oleh
beberapa ahli, diantaranya :
a.
Krueger
(1990)
Mengemukakan
proposi tentang kegagalan pemerintah dalam pembangunan. Pertama, orang akan
menghabiskan sumber daya untuk menangkap hak milik pemerintah. Kedua,
kelompok-kelompok akan mempertahankan posisi yang telah diraihnya. Ketiga ada
kepentingan yang berbeda dalam
pemerintah.
b.
Weimer
dan Vining(1992)
Menyebutkan
bahwa kegagalan pemrintah merupakan persoalan yang inheren dalam empat sosok
system politik yaitu : demokrasi langsung, keterwakilan pemerintah, penawaran
birokrasi, dan desentralisasi pemerintah.
c.
Malpas
dan Wickam (1996)
Berpendapat
bahwa kegagalan pemerintah dapat disebabkan tindakan kurang pengetahuan tentang
hubungan kausal yang mempengaruhi objek pemerintahan, kemungkinan keterlibatan
masalah dalam belajar strategis, masalah kondisi
interpersonal-interorganisasional-intersystemic, masalahb kestabilan harapan
antara berbagai actor yang terlibat dalam pemerintahan dan metagovernenace
sebagai landasan tindakan bersama.
d.
Mangkusubroto
(1999)
Mengatakan bahwa
kegagalan pemerintah disebabkan oleh empat hal, yaitu informasi yang terbatas,
pengawasan yang terbatas atas reaksi public swasta, pengawasan yang terbatas
atas perilaku birokrat, hambatan dalam proses politik.
Pendapat ke empat ahli di atas jelas
menegaskan bahwa tata kelola penyelenggaraan tata pemerintah bukan sekedar
menjadi ajang bagi birokrasi melakukan eksperimen dalam menyelenggarakan
praktik manajemen pemerintah. Namun yang lebih penting adalah bagaiman pemerintah
berjalan optimal dengan berbagai dukungan system yang ada, untuk mencapai hasil
yang optimal berupa output bagi kesejahteraan penduduk dan kemakmuran Negara.
Kemakmuran, kata yang selalu
didengungkan oleh perencana pembangunan sebagai tujuan dari proses pembangunan
yang dilakukan. Untuk mencapai kemakmuran bukan pekerjaan mudah. Terdapat
kondisi yang harus dihadapi oleh perencana pembangunan untuk mewujudkan
kemakmuran. Kondisi tersebut dikenal sebagai lingkaran setan kemiskinan, berupa
pusaran yang tak berujung pangkal, terkait dengan keterbelakangan, kekurangan
modal, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, rendahnya tabungan, dan
rendahnya invetasi(Nurkse, 1953).
Kemakmuran Negara dan kesejahteraan
penduduk jelas menjadi representasi dan kondisi perekonomian suatu Negara. Oleh
karena itu, kondisi perekonomian suatu Negara sudah selayaknya menjadi bagian
yang harus diperhatikan dan dicermati oleh penyelenggara Negara. Jika kita
melacak lebih jauh tentang kondisi perekonomian Indonesia, maka untuk
mengetahuinya tentu harus dilacak pula beberapa fakta yang terjadi, dan ini
hanya bisa kita ketahui melalui beberapa rekaman dari beberapa referensi yang
telah menjadi fakta public.
Beberapa publikasi terkait kondisi
perekonomian Indonesia relevan untuk diungkapkan. Kondisi tersebut merupakan
gambaran dari suatu proses panjang yang mencerminkan indicator efektivitas kinerja
pemerintah dibawah nahkoda presiden beserta kabinetnya. Paling tidak terdapat
aspek pertumbuhan dan pemerataan pendapatan, perbankan, produk domestic bruto,
rasio utang, inflasi, lapangan pekerjaan, dan pengangguran.
Optimisme perekonomian Indonesia
dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional yang semakin
meningkat. Hal itu mampu memberikan kemajuan ekonomi secara makro. Pertumbuhan
ekonomi dapat dilihat dengan permintaan domestic masih akan menjadi penopang
utama kinerja perekonomian. Di sector perbankan, Bank Indonesia memperkirakan
pertumbuhan ekonomi sepanjang tri wulan 1-2011 masih akan tumbuyh tinggi, yakni
di kisaran 6,4%, sehingga sepanjang tahun ini perekonomian Indonesia
diproyeksikan tumbuh di kisaran 6- 6,5%.
Produk domestic bruto (PDB)
Indonesia saat ini mencapai US$700 dan menempati urutan ke 18 dari 20 negara
yang mempunyai PBD terbesar di dunia. Hanya ada 5 negara Asia yang masuk ke
dalam daftar yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Kelima Negara Asia tersebut
adalah Jepang(urutan ke dua), Cina( urutan ketiga), India(urutan ke sebelas),
dan Korea Selatan( urutan ke lima belas).
Menurut kuncoro (2007), pertumbuhan
ekonomi Indonesia bercirikan consumption driven growth dibandingkan investment
led growth. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat mendorong peningkatan
pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan, dibandingkan hasil dari
manfaat pembangunan dan keberhasilan pertumbuhan ekonomi khusunya pada sector
lain yang masih rendah, serta pembangunan seperti pada kawasan timur Indonesia
yang masih tertinggal. Pertumbuhan ekonomi masih jauh dari berkualitas karena
kecenderungan masih adanya indikasi trickle up effect dalam proses pembangunan
dimana terjadi ketimpangan distribusi pendapatan.
Perekonomian Indonesia juga masih
diwarnai pengangguran karena pertumbuhan penduduk yang padat dan tidak
diseimbangkan dengan adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga
penduduk usia produktif tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal tersebut
merupakan beban masyarakat serta menimbulkan kecenderungan persoalan social dan
kriminalitas.
Sector penanaman modal dalam negeri
masih didominasi pemodal asing, yaitu sekitar 75%. Data BKPM hingga semester I
tahun 2012, 54,9% PMA di Jawa, 24,2% di Sumatera, 14,5% di Kalimantan, dan
sisanya di pulau lain. Di sector pendapatan, data Badan Pusat Statistik(BPS)
mencatat adanya kesenjangan pendapatan di Indonesia cenderung meningkat. Hal
ini dapat dilihat dari kenaikan rasio gini. Rasio gini yang yang membesar
menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan.
Tidak meratanya kondisi
infrasruktur, sedikit banyak memberi kontribusi terjadinya ketimpangan
pendapatan. Padahal dinamika aktivitas perekonomian perlu dukungan
infrastruktur yang baik. Selain itu, model prioritas pembangunan fisik yang
mempertimbangkan distribusi antar wilayah, tentu perlu diperhatikan. Hal ini
dimaksudkan agar kesenjangan perekonomian antar daerah dapat dikurangi. Tidak
dipungkiri, bahwa fakta selama ini menunjukkan kondisi infrastruktur di luar
pulau Jawa masih tertinggal. Hal ini akibat adanya konsentrasi pembangunan yang
terfokus di wilayah barat Indonesia, khususnya pulau Jawa.
Terlepas dari fakta di atas,
sebenarnya Indonesia mempunyai kesempatan besar dalam memaksimalkan
perekonomian yang dapat menjadi kerangka dasar pencapaian kemakmuran Negara.
Hal ini dapat ditilik bahwa Indonesia memiliki ekonomi berbasis pasar, dimana
pemerintah berperan penting dengan kepemilikan ari 165 BUMN dan menetapkan
harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras dan listrik. Dengan
modal itu tentu saja prospek perekonomian Indonesia ke depan akan lebih
menjanjikan dan dapata memberikan sandaran bagi rakyat Indonesia untuk
menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi di masa mendatang.
2.2. Gambaran
Umum Perekonomian Indonesia
Berdasarkan pendekatan kronologis historis
substansi perekonomian Indonesia
digolongkan menjadi :
a. Masa sebelum terjajah (sebelum 1600)
b. Masa penjajahan (1600-1945)
c. Masa sebelum 1966 (sejak merdeka)
d. Masa sesudah 1966 (orde baru)
e. Masa sesudah orde baru (reformasi
ekonomi)
2.2.1. Era Sebelum 1966, Masa Peralihan 1966-1668,
dan Era Pembangunan Jangka Panjang
Era Sebelum 1966 (Masa Orde Lama)
Selama
sekitar dua puluh tahun pertama merdeka, perekonomian Indonesia berkembang
menggembirakan. Dimana, perilaku kenaikan harga-harga barang secara agresif
sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1955. Ketika itu laju inflasi, diukur
dengan Indeks Biaya Hidup di Jakarta, naik 33 persen. Berdasarkan ini mencapai
angka 40 persen pada tahun 1958. Laju inflasi tahunan selama periode 1955-1960 rata-rata
23,5 persen. Menjelang tahun 1960 terlihat tanda-tanda inflasi mereda, namun
ternyata kembali meningkat pada tahun 1961 dan bahkan berlanjut terus hingga
tahun 1966. Pada tahun berakhirnya rezim orde lama ini, Indonesia menggoreskan
catatan penting yang tak diinginkan dalam sejarah perekonomiannya: laju
inflasi sekitar 650 persen.
Masa orde
lama juga ditandai dengan berbagai fenomena ekonomi yang tidak menyenangkan
seperti nasionalisme perusahaan-perusahaan asing, kekurangan capital, kebijakan
anti-investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas dalam
perdagangan internasional, dan tekanan atas neraca pembayaran yang
mengakibatkan depresiasi rupiah.
Nasionalisme
perusahaan-perusahaan asing dimulai pada tahun 1951, tetapi pelaksanaannya terjadi
secara besar-besaran pada tahun 1958. Tindakan ini merupakan kelajutan
pemberlakuan Undang-undang No. 78/1958 tentang investasi asing, yang intinya
berisikan tentang kebijakan anti-investasi. Ketika itu tumbuh subur pandangan
bahwa investasi asing bukan saja akan merupakan hambatan bagi pembangunan
ekonomi Indonesia, tetapi bahkan bertujuan hendak menguasai kehidupan
perekonomian.
Rezim orde
lama juga membawa kejanggalan pada sistem moneter. Bank-bank pertama yang
membentuk sistem moneter Indonesia adalah bank-bank asing hasil nasionalisasi
kecuali Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tahun 1946. Karena
kejanggalan dalam sejarah sistem moneter Indonesia, maka pada tahun 1965,
menteri untuk urusan Bank Sentral menggabungkan semua bank milik pemerintah
(termasuk Bank Indonesia) kedalam satu wadah tunggal yang dijuluki “Bank
Berjuang”. Tujuannya yaitu untuk mengelola dan mengendalikan langsung aktivitas
dan sistem perbankan oleh hanya satu tangan yaitu pemerintah, sekaligus dalam
rangka melaksanakan gagasan “ekonomi terpimpin” yang dilancarkan oleh
pemerintah ketika itu.
MASA PERALIHAN 1966-1968
Menyusul
kudeta komunis yang gagal dalam bulan September 1965, sebuah pemerintah baru
tampil sejak maret 1966. Rezim baru ini mewarisi keadaan perekonomian yang
porak poranda yang mana:
a. Ketidak mampuan memenuhi kewajiban
utang luar negeri lebih dari US$ 2 milliar,
b. Penerimaan ekspor yang hanya setengah
dari pengeluaran untuk impor barang dan jasa,
c. Ketidakberdayaan
mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak,
d. Laju
inflasi 30-50 persen per bulan, dan
e. Buruknya kondisi prasarana perekonomian
serta penurunan kapasitas produktif sector industry dan
ekspor.
Untuk mengatasi keadaan diatas maka ditetapkan
beberapa langkah prioritas kebijakan ekonomi berupa upaya-upaya:
a) Memerangi hiperinflasi,
b) Mencukupkan stok bahan pangan,
khususnya beras,
c) Merehabilitas prasarana
perekonomian,
d) Meningkatkan ekspor,
e) Menyediakan dan menciptakan
lapangan kerja, dan
f) Mengundang kembali investasi
asing.
Secara keseluruhan, program ekonomi pemerintah orde
baru ini dibagi menjadi dua jangka waktu yang saling berkaitan yaitu jangka
pendek dan jangka panjang (rencana pembangunan lima tahun/REPELITA).
Program
ekonomi jangka pendek terdiri atas:
a. Tahap penyelamatan (Juli – Desember 1966)
b. Tahap rehabilitas (Januari – Juni 1967)
c. Tahap konsolidasi (Juli – Desember 1967)
d. Tahap stabilisasi (Januari – Juni 1968)
Dalam mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah
memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy).
Sementara itu, berkenaan dengan beban utang luar negeri, terbentuk sebuah
“konsorsium” Negara-negara donator bernama Inter-Govermental Group on
Indonesia (IGGI).
Di sector
moneter, dilakukan reformasi besar atas sistem perbankan. Bersamaan dengan itu,
Indonesia kembali menjadi anggota International Monetary Fund (Indonesia
keluar dari IMF pada bulan agustus 1965). Tiga undang-undang baru tentang
perbankan diberlakukan yaitu:
a.
Undang-undang tentang Perbankan tahun 1967
b.
Undang-undang tentang Bank Sentral tahun 1968
c.
Undang-undang tentang Bank Asing tahun 1968
ERA
PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
Pada masa
Orde Baru, pembangunan ekonomi di dasarkan pada kebijakan berdasarkan konsep ”
TRILOGI PEMBANGUNAN ”, yang mengandung 3
unsur pokok, yang mencerminkan 3 ( tiga ) segi permasalahan dalam pembangunan
sebagai suatu proses kegiatan secara terus menerus.
1. Pemerataan : adalah suatu pembagian hasil produksi kepada masyarakat yang lebih
merata, sehingga dirasakan keadilannya.
2. Pertumbuhan Ekonomi : Menunjukkan usaha kearah peningkatan produksi secara keseluruhan
dimasyarakat. Hasil produksi yang merupakan produksi nasional, membawa pendapatan bagi
masyarakat melalui berjalannya mekanisme pasar.
3. Stabilitas Nasional : Merupakan syarat pokok bagi upaya pembangunan yang berkesinambungan untuk mencapai ke 2 sasaran di atas,
yakni, kehidupan masyarakat dan
negara yang stabil.
Trilogi Pembangunan, yang menempatkan pemerataan
sebagai ” prioritas” mendapat banyak hambatan, terutama masih kaburnya tolok
ukur atau indikator penentuan alokasinya, sehingga hasilnyapun sukar diukur
atau bahkan mudah menyimpang. Oleh karena itu pemeratan hanya dapat dicapai
melalui ” Delapan jalur pemerataan ”
yaitu :
1. Pemerataan Kebutuhan Pokok rakyat
2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
3. Pemerataan
pembagian pendapatan, khususnya melalui usaha-usaha padat karya
4. Pemerataan
kesempatan kerja melalui peningkatan pembangunan regional
5. Pemerataan
dalam pengembangan usaha, khususnya memberikan kesempatan yang luas bagi
golongan ekonomi lemah untuk memperoleh akses perkreditan dan penggalakkan
Koperasi.
6. Pemerataan
Kesempatan berpartisipasi khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita
7. Pemerataan
penyebaran penduduk melalui transmigrasi dan pengembangan wilayah
8. Pemerataan
dalam memperoleh Keadilan Hukum.
Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat
memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima
Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a.
REPELITA I (1969-1974)
Mulai
berlaku sejak tanggal April 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan
ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup
sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan
diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan
masyarakat.
Program-Program
yang dilaksanakan :
Rehabilitasi Ekonomi ;
Sarana penunjang produksi pangan ( Waduk, irigasi, dsb )
Prasarana angkutan (Jalan, Jembatan, Pelabuhan, dsb )
Kendala-kendala :
Kurang tersedianya dana pembiayaan pembangunan
Faktor
penyebabnya :
Rendahnya tabungan dalam negeri
Rendahnya ekspor ( devisa sedikit )
Usaha yang
dilakukan :
Pinjaman Luar Negeri
Menggalakkan Modal Asing
Melalui
upaya-upaya yang telah dilakukan, maka selama PELITA I tersebut, angka pertumbuhan
ekonomi Indonesia mencapai 8,40 % per tahun.
Tantangan
:
Isu pemerataan
Rendahnya penyerapan Tenaga Kerja
b.
REPELITA II (1974-1979)
Target
pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah
sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam
negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah
menjadi bahan baku.
Keberhasilan Pelita I,
menimbulkan dampak terhadap ;
1. Kesenjangan ekonomi
2. Dominasi Modal Asing
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka kebijakan pembangunan yang berpegang
pada Trilogi, difokuskan kepada :
1. Pertumbuhan ekonomi
2 . Pemerataan
3. Stabilitas
Tantangan yang dihadapi :
1. Makin melebarnya kesenjangan ekonomi
2. Meningkatnya jumlah pengangguran
Usaha yang dilakukan :
Memberikan kesempatan berusaha
yang lebih luas kepada pengusaha-pengusaha Kecil, melalui beberapa kebijakan,
antara lain ;
1. Kebijakan Moneter ( KIK, KMKP, Penurunan Suku Bunga dsb )
2. Devaluasi Rupiah, untuk merangsang ekspor
c.
REPELITA III (1979-1984)
Prioritas
tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian
menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku
menjadi bahan jadi.
Dengan makin
gencarnya isue tentang kesenjangan ekonomi. Kesenjangan-kesenjangan nyata yang
terjadi antara lain :
1. Kesenjangan
antar daerah dan antar sektor
2. Kesenjangan
tingkat pendapatan dan kesempatan kerja
3. Kesenjangan antara Usaha Kecil dengan Usaha
besar
4. Kesenjangan dalam memperoleh pendidikan, kesehatan,
dan Peradilan/Hukum
Dalam upaya untuk mewujudkan kondisi
perekonomian yang lebih baik, dalam kurun tersebut, muncul beberapa
kendalan/hambatan, antara lain ;
1. Adanya resesi dunia
2. Turunnya harga minyak ( karena Perang Teluk)
3. Dampak
devaluasi Rupiah yang masih terasa
4. Inflasi di atas 20 % per tahun
Dengan
adanya beberapa kendala tersebut, pemerintah terus berupaya agar perekonomian
dapat berjalan dengan baik. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka
mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik, antara lain adalah :
1. Meningkatkan Tabungan dalam negeri
2. Melakukan
devaluasi rupiah sebesar 28 %
3. Melakukan
deregulasi sistem plafon( pagu ) kredit, dan kebebasan menentukan tingkat Suku
Bunga bagi Bank-Bank umum.
4. Peningkatan alokasi dana APBN & APBD bagi
perluasan Kesempatan Kerja, Pendidikan, dan fasilitas Kesehatan.
d.
REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA
III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong
pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja.
Prioritasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan
meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Selama Pelita
IV strategi pembangunan tetap berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan, yaitu :
Pemerataan, Pertumbuhan, dan Stabilitas. Namun upaya perbaikan kinerja
perekonomian menghadapi kendala,
yaitu;
1. Turunnya harga
Migas
2. Turunnya
Cadangan Devisa
3. Krisis
likuiditas perbankan akibat langkanya aliran dana masuk dari masyarakat
4. Inflasi masih
cukup tinggi ( 52,9 %)
5. Kesenjangan
makin melebar
Upaya yang dilakukan pemerintah
antara lain ;
1. Melakukan deregulasi ;
a. Memberikan kemudahan impor bahan baku industri dalam negeri
b. Memberikan kemudahan bagi Perusahaan PMA, untuk : melakukan pinjaman Bank,
dan kegiatan distribusi barang & jasa.
2. Melakukan Devaluasi Rupiah ( dari Rp 625/$
menjadi Rp.970/$, kemudian dari Rp.1.134/$ menjadi Rp.1.644/$, dengan Sistem
Kurs bebas ) , yang bertujuan untuk meningkatkan Ekspor Non Migas,
mengendalikan impor, dan meningkatkan penerimaan pajak.
3. Melakukan kebijakan imbal beli
(Counter Purchase)
Pembeli dari luar negeri diwajibkan membeli barang dalam negeri minimal =
nilai yang di ekspornya.
4. Memperlancar perizinan di bidang
produksi, jasa serta investasi.
5. Mobilisasi dana di pasar uang ( dengan mempermudah persyaratan pendirian
Bank umum, perizinan, serta mengizinkan
masuknya Modal Asing)
6. Deregulasi di Bidang perdagangan & hubungan laut ( berupa,
penyederhanaan izin usaha, izin trayek, pembelian kapal, pengahapusan Tata
Niaga Impor, penghapusan bea masuk & bea masuk tambahan )
7. Penyederhanaan proses impor
mesin.
8. Penyederhanaan izin masuk dan
bekerja bagi Tenaga Kerja Asing
9. Dengan kerja keras, menghadapi berbagai kendala dan tantangan perekonomian
global, akhirnya dalam kurun waktu tersebut, pertumbuhan ekonomi rata-rata
mencapai di atas 7 % per tahun.
e.
REPELITA V
Pertumbuhan
rata-rata 6,70% per tahun, dibandingkan rata-rata 5,32% dalam pelita
sebelumnya. Ekspor komoditas nonmigas meningkat pesat, Indonesia bahkan mulai
berhasil mengekspor berbagai produk industry. Periode ini mengantarkan
Indonesia menjadi sebuah Negara industri baru (a newly industrialized
country /NIC).
Dengan tetap berlandaskan pada Trilogi pembangunan. Pada Pelita V ini penekanan
kebijakan diarahkan pada Pemerataan ,
dengan prioritas ” Sektor industri yang didukung oleh Sektor Pertanian ”
Kendala-kendala
yang dihadapi :
1. Munculnya Blok-blok Perdagangan Dunia ( AFTA, NAFTA, APEC, dsb )
2. Persaingan bisnis makin
kompetitif
3. High Cost
4. Kualitas SDM masih rendah
5. Utang Luar negeri makin meningkat
Upaya yang dilakukan Pemerintah
antara lain :
1. Melakukan diversifikasi produk ekspor ( khususnya Non Migas )
2. Melakukan deregulasi, antara lain
; tentang pengaturan Investasi Asing.
f.
REPELITA VI
Target-target yang dicapai pada
repelita VI adalah:
1. Pertumbuhan Ekonomi secara
kelseluruhan 6,2 %
2. Sektor Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 3,5
%
3. Sektor Industri 9 %
4. Sektor Manufaktur di Luar Migas 10,0
%
5. Sektor Jasa 6,5%
6. Laju Inflasi 5,0 %
7. Eksport non Migas 16,5 %
8. Eksport Manufaktur 17,5 %
9. Debt Service Ratio 20,0 %
10. GDP Rp. 2.150,0 triliun
11. Nilai Investasi Rp. 660,1 triliun
Jik Dalam Pelita VI, kebijakan
pembangunan dilandasi oleh Trilogi pembangunan, dengan tetap mengedepankan ”
Pemerataan ”
Tantangan yang dihadapi antara lain,
1. Income per Kapita masih rendah
2. Laju pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi
3. Kesenjangan makin meningkat
4. Bertambahnya jumlah penduduk
miskin
5. Rendahnya penyerapan Tenaga Kerja
6. Rendahnya kualitas SDA dan lingkungan
7. Masih tingginya Angka Kematian Ibu & Bayi
Melalui
berbagai upaya/kebijakan yang dilakukan, selama Pelita VI, sasaran pertumbuhan
ekonomi rata-rata di atas 6 %, dapat dicapai.
Maka ditarik
kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor
pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
B. GEJOLAK
POLITIK SEBELUM ORDE BARU
Secara
politis, kurun waktu sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 dapat dipilah menjadi
tiga periode yaitu:
1. Periode
1945-1950,
2. Periode Demokrasi
Parlementer (1950 – 1959), dan
3. Periode
Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965).
a) Kabinet
Hatta, Desember 1949 – September 1950
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya
kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang dipimpin oleh pakar ekonomi
professional, hal ini terlihat pada perhatiannya pada masalah-masalah ekonomi
cukup besar.
Tindakan yang paling penting yang
dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melaui devaluasi mata uang
secara serempak dan pemotongan (dalam arti harafiah) uang yang beredar pada
bulan maret 1950. Pemotongan uang ini melibatkan pengguntingan menjadi separuh
atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari
2,50 gulden Indonesia (sampai dengan 22 Mei 1951, saat De Javasche Bank
dinasionalisasikan menjadi Bank Indonesia, mata uang Indonesia bernama gulden),
dan pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai di atas 400 gulden menjadi
separohnya. Sebagai ganti rugi akibat tindakan yang terakhir ini, kepada
pemegang depositonya diberikan obligasi jangka panjang pemerintah.
b) Kabinet
Natsir, September 1950 – Maret 1951
Pada masa kabinet Natsir, Natsir dan
kawan-kawan berhasil memanfaatkan situasi “perang korea” untuk keperluan
pembangunan. Ekspor terdorong kuat sehingga mampu mengatasi kesulitan neraca
pembayaran, sekaligus menaikkan penerimaan pemerintah. Impor diliberalisasikan
sebagai upaya menekan tingkat harga –harga umum dalam negeri. Kredit bagi
perusahaan-perusahaan pribumi diperlunak. Suatu kombinasi kebijakan fiscal yang
ketat dan penerimaan yang tinggi sempat menghasilkan surplus anggaran yang
cukup besar pada tahun 1951.
Pada masa kabinet ini pertama
kalinya terumuskan perencanaan pembangunan, yaitu Rencana Urgensi Perekonomian
(RUP).
c) Kabinet
Sukiman, April 1951 – Februari 1952
Masa pemerintahan Sukiman mencatat
beberapa peristiwa penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Diantaranya
adalah nasionalisme De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (22 Mei 1951) dan
memburuknya situasi fiscal. Menurunnya ekspor, sistem kurs berganda (multiple
exchange rate system), yang telah menjebak sistem perekonomian sejak 1950.
d) Kabinet
Wilopo, April 1952 – Juni 1953
Kabinet Wilopo memperkenalkan konsep
anggaran berimbang (balanced budget) dalam APBN. Impor bukan saja
diperketat, tetapi juga diharuskan melakukan pembayaran dimuka. Pekerjaan
ekonomi besar yang dilakukan semasa Wilopo adalah “rasionalisasi” .
Strategi pembangunan ekonomi yang
ditempuh oleh Wilopo juga tak berbeda dengan yang dijalankan oleh pendahulunya.
Kabinet tetap melanjutkan Rencana Urgensi Perekonomian, temasuk Program
Benteng yang merupakan upaya untuk membentuk sesuatu kelas menegah nasional
dengan jalan membatasi alokasi impor hanya kepada pengusaha-pengusaha nasional.
Program benteng yang merupakan bagian dari RUP ini bersifat
diskriminatif-rasial. Efek merugikannya sangat dirasakan oleh golongan
pengusaha (terutama importer) nonpribumi sejak pertengahan tahun 1953, akhir
masa kerja Kabinet Wilopo.
e) Kabinet
Ali I, Agustus 1953 – Juli 1955
Kabinet Ali I sangat melindungi
importer pribumi, sangat menggebu-gebu untuk mengubah perekonomian dari
struktur kolonial menjadi nasional. Ini terlihat sekitar lima bulan ia
menjabat, jumlah pengusaha nasional yang tergolong kedalam “importer benteng”
membengkak luar biasa. Dari 700 menjadi 4300 importer.
Ditinjau dari sisi fiskal, masa
Sembilan bulan pertama kabinet ini bahkan dapat dikatakan sebagai katastropik.
Kegagalan fiskal ini bahkan mengundang kecaman keras, sehingga Ali mengganti
beberapa anggota utama kabinetnya. Karena goncangan kabinet, tindakan
restabilisasi diarahkan pada pembatasan impor dan upaya ini cukup berhasil.
Akan tetapi disis lain, upaya pengendalian laju uang beredar kurang sukses.
f) Kabinet
Burhanuddin, Agustus 1955-1956
Tindakan ekonomi penting yang
dilakukan Kabinet Burhaniddin diantaranya adalah liberalisasi impor
(politik rasialisme terhadap importer dihapuskan). Pada saat yang sama,
kebijakan pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan. Laju uang yang beredar
berhasil ditekan, berkurang sekitar 5 persen (senilai Rp 600 juta ketika itu).
Begitu pula harga barang-barang eks impor, yang pada paruh pertama tahun 1955
telah naik hampir 13 persen. Nilai rupiah bahkan naik sekitar 8 persen terhadap
emas.
Kabinet Burhaniddin dinilai berhasil
dan konsisten dalam melaksanakan RUP. Pembangunan ekonomi relative berhasil
berkat perluasan pembentukan modal melaui penyempurnaan Program Benteng, yakni
dengan membentuk suatu Dewan Alat-alat Pembayaran Luar Negeri.
g) Kabinet
Ali II, April 1956- Maret 1957
Ali Sastroamidjojo kembali naik
panggung pemerintahan, dan merupakan cabinet hasil pemilihan umum pertama.
Kabinet ini nyaris tak sempat berbuat apa-apa dalam bidang perekonomian.
Dimana, penyeludupan merajalela sehingga merosotkan cadangan devisa dan defisit
berat dalam anggaran Negara terjadi lagi. Setifikat pendorong Ekspor, yang
sebelumnya sempat dibekukan dicairkan kembali. Utang pada belanda dihapuskan,
sementara itu pemerintah menerima bantuan US$55 juta dari Dana Moneter
Internasional (IMF). Undang-undang tentang penanaman modal asing diajukan ke
DPR. Pada saat yang sama diberlakukan undang-undang anti pemogokan dan anti
pemilikan tanah secara tidak sah. Undang-undang yang terakhir ini merupakan
sebuah upaya untuk melindungi perkebunan-perkebunan yang sebagian besar
dimiliki dan dioperasikan oleh orang asing.
h) Kabinet
Djuanda
Semasa pemerintahan Djuanda dengan
perekonomian yang bersifat terpimpin ini, instrument ekspor berupa Sertifikat
Pendorong Ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi Bukti Ekspor (BE). Dalam
bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan (nasionalisme)
perusahaan-perusahaan belanda. Kabinet Djuanda pun harus berjuang dan akhirnya
kalah melawan gejolak keuangan pemerintah bahkan harus menanggung defisit
anggaran sebesar Rp5,5 milliar, atau hampir 22 persen dari pengeluaran total
pemerintah.
Kendati telah diwariskan rumusan
Rencana Lima Tahun oleh Kabinet Ali II, bahkan disusul dengan pelaksanaan
Musyawarah Nasional Perencanaan (Munap) pada bulan November 1957, namun cabinet
ini tak dapat berbuatbanyak bagi pembangunan ekonomi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar