Rabu, 04 Mei 2016

PEREKONOMIAN INDONESIA



BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Karakteristik dan Kondisi Perekonomian Indonesia
Kondisi perekonomian Indonesia sangat tergantung dengan daya dukungnya. Daya dukung ini terdiri dari beberapa variable yang mempengaruhinya. Variable inipun juga tidak serta merta dapat memberikan kontribusi kepada kondisi perekonomian Indonesia, namun masih ditentukan oleh karakteristik dari variable tersebut. Dengan demikian, untuk melihat kondisi perekonomian Indonesia, maka relevan diuraikan tentang karakteristik yang melingkupinya.
Indonesia sebagai Negara kepulauan memiliki ciri-ciri spesifik, yang berbeda dengan Negara-negara lain di dunia, sehingga perekonomiannyapun tentu saja memiliki karakteristik sendiri, yang berbeda pula dengan Negara lain. Karakteristik menunjukkan ciri yang mendasari dari sebuah obyek. Adapun karakteristik perekonomian Indonesia dipengaruhi oleh :
a.       Faktor Geografi
Indonesia adalah Negara kepulauan terbesar di dunia yang terdiri dari 13.677 pulau yang terbentang dari 60 derajat lintang utara sampai 110 derajat lintang selatan sepanjang kurang lebih 61.146 km. Luas wilayah Indonesia adalah 5.193.250 km2, 70% terdiri dari lautan. Letaknya strategis karena berada pada posisi silang( antara benua Asia dan Australia) dan menjadi jalur lalu lntas dunia (antara laut Atlantik dan Pasifik). Kondisi ini menimbulkan kesulitan komunikasi dan transportasi antar pulau, ketidaklancaran mobilitas barang, perbedaan kesempatan pendidikan dan kesempatan kerja yang semuanya bermuara pada kesenjangan. Menurut Sutjipto(1975), Indonesia dalam sector ekonomiterjadi perbedaan potensi ekonomi karena perbedaan potensi sumber daya alam , sumber daya manusia, kesuburan tanah, dan curah hujan.

b.      Faktor Demografi
Jumlah penduduk Indonesia pada tahun 2011 tercatat sebanyak 237.641.326 jiwa. Jumlah ini menjadikan Indonesia sebagai Negara dengan jumlah penduduk terbesar yang berada diurutan ke tiga. Penyebaran penduduk tidak merata(2/3 tinggal di pulau Jawa). Sebagian besar hidup di pedesaan , bermatapencaharian sebagai petani kecil dan buruh tani dengan upah sangat rendah. Sector tenaga kerja masih didominasi jenjang pendidikan SD ke bawah yaitu sekitar 54,2 juta orang (49,40%), sedangkan pekerja dengan pendidikan diploma sekitar 3,2 juta orang(2,89%) dan pekerja dengan pendidikan Sarjana hanya sebesar 5,6 juta orang (5,15%). Hal itu menunjukkan bahwa mutu SDM masih rendah,yang berdampak pada rendahnya produktivitas. Dengan jumlah penduduk yang demikian besar, maka Indonesia membutuhkan berbagai barang, jasa dan fasilitas hidup. Namun kemampuan untuk memenuhi kebutuhan tersebut tidak sebanding dengan kemampuan berproduksi. Hal ni memicu munculnya kondisi rawan kemiskinan.


c.       Faktor Sosial, Budaya dan Politik
Aspek social ditunjukkan bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai suku dengan keragaman adat, budaya dan tradisi. Hal ini tentu saja membuka potensi perbedaan dalam persepsi terhadap persolan yang ada, yang berpotensi  menimbulkan konflik suku,agama, ras dan antar golongan(SARA). Aspek budaya ditunjukkan adanya pengaruh feodalisme dan pengaruh kolonialisme yang masih ada hingga saat ini. Hal ini terasa pada medan perpolitikan di Indonesia. Dalam bidang politik, warisan kehidupan kerajaan yang membentuk feodalisme masih kental dalam kehidupan bangsa Indonesia mulai dari tataran pusat hingga daerah. Kesemuanya itu akhirnya menghambat terciptanya demokrasi ekonomi.

Berbasis karakteristik di atas, maka tentu saja kondisi perekonomian Indonesia masih membutuhkan perhatian dari penyelenggara Negara. Kondisi perekonomian suatu Negara menjadi target bagi kondisi secara umum suatu Negara pula. Negara yang secara formalnya dijalankan oleh kekuasaan melalui system birokrasinya, tentu mengharapkan kondisi perekonomian yang dapat memberikan kemakmuran bagi penduduknya. Kegagalan Negara dalam mengelola perekonomian dapat menjadi pemicu bagi munculnya persolan pelik, dan akan menyeret Negara tersebut dalam pusaran ketidakpastian. Ketidakpastian yang tidak bisa dikendalikan menjadi pembuka munculnya kegagalan Negara.
            Kegagalan Negara dalam manajemen  tata penyelenggaraan pemerintah dan pembangunan setidaknya telah dicermati oleh beberapa ahli, diantaranya :
a.       Krueger (1990)
Mengemukakan proposi tentang kegagalan pemerintah dalam pembangunan. Pertama, orang akan menghabiskan sumber daya untuk menangkap hak milik pemerintah. Kedua, kelompok-kelompok akan mempertahankan posisi yang telah diraihnya. Ketiga ada kepentingan yang berbeda dalam  pemerintah.
b.      Weimer dan Vining(1992)
Menyebutkan bahwa kegagalan pemrintah merupakan persoalan yang inheren dalam empat sosok system politik yaitu : demokrasi langsung, keterwakilan pemerintah, penawaran birokrasi, dan desentralisasi pemerintah.
c.       Malpas dan Wickam (1996)
Berpendapat bahwa kegagalan pemerintah dapat disebabkan tindakan kurang pengetahuan tentang hubungan kausal yang mempengaruhi objek pemerintahan, kemungkinan keterlibatan masalah dalam belajar strategis, masalah kondisi interpersonal-interorganisasional-intersystemic, masalahb kestabilan harapan antara berbagai actor yang terlibat dalam pemerintahan dan metagovernenace sebagai landasan tindakan bersama.
d.      Mangkusubroto (1999)
Mengatakan bahwa kegagalan pemerintah disebabkan oleh empat hal, yaitu informasi yang terbatas, pengawasan yang terbatas atas reaksi public swasta, pengawasan yang terbatas atas perilaku birokrat, hambatan dalam proses politik.

Pendapat ke empat ahli di atas jelas menegaskan bahwa tata kelola penyelenggaraan tata pemerintah bukan sekedar menjadi ajang bagi birokrasi melakukan eksperimen dalam menyelenggarakan praktik manajemen pemerintah. Namun yang lebih penting adalah bagaiman pemerintah berjalan optimal dengan berbagai dukungan system yang ada, untuk mencapai hasil yang optimal berupa output bagi kesejahteraan penduduk dan kemakmuran Negara.
Kemakmuran, kata yang selalu didengungkan oleh perencana pembangunan sebagai tujuan dari proses pembangunan yang dilakukan. Untuk mencapai kemakmuran bukan pekerjaan mudah. Terdapat kondisi yang harus dihadapi oleh perencana pembangunan untuk mewujudkan kemakmuran. Kondisi tersebut dikenal sebagai lingkaran setan kemiskinan, berupa pusaran yang tak berujung pangkal, terkait dengan keterbelakangan, kekurangan modal, rendahnya produktivitas, rendahnya pendapatan, rendahnya tabungan, dan rendahnya invetasi(Nurkse, 1953).



            Kemakmuran Negara dan kesejahteraan penduduk jelas menjadi representasi dan kondisi perekonomian suatu Negara. Oleh karena itu, kondisi perekonomian suatu Negara sudah selayaknya menjadi bagian yang harus diperhatikan dan dicermati oleh penyelenggara Negara. Jika kita melacak lebih jauh tentang kondisi perekonomian Indonesia, maka untuk mengetahuinya tentu harus dilacak pula beberapa fakta yang terjadi, dan ini hanya bisa kita ketahui melalui beberapa rekaman dari beberapa referensi yang telah menjadi fakta public.
            Beberapa publikasi terkait kondisi perekonomian Indonesia relevan untuk diungkapkan. Kondisi tersebut merupakan gambaran dari suatu proses panjang yang mencerminkan indicator efektivitas kinerja pemerintah dibawah nahkoda presiden beserta kabinetnya. Paling tidak terdapat aspek pertumbuhan dan pemerataan pendapatan, perbankan, produk domestic bruto, rasio utang, inflasi, lapangan pekerjaan, dan pengangguran.
            Optimisme perekonomian Indonesia dapat dilihat dari pertumbuhan ekonomi dan pendapatan nasional yang semakin meningkat. Hal itu mampu memberikan kemajuan ekonomi secara makro. Pertumbuhan ekonomi dapat dilihat dengan permintaan domestic masih akan menjadi penopang utama kinerja perekonomian. Di sector perbankan, Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi sepanjang tri wulan 1-2011 masih akan tumbuyh tinggi, yakni di kisaran 6,4%, sehingga sepanjang tahun ini perekonomian Indonesia diproyeksikan tumbuh di kisaran 6- 6,5%.
            Produk domestic bruto (PDB) Indonesia saat ini mencapai US$700 dan menempati urutan ke 18 dari 20 negara yang mempunyai PBD terbesar di dunia. Hanya ada 5 negara Asia yang masuk ke dalam daftar yang dikeluarkan oleh Bank Dunia. Kelima Negara Asia tersebut adalah Jepang(urutan ke dua), Cina( urutan ketiga), India(urutan ke sebelas), dan Korea Selatan( urutan ke lima belas).
            Menurut kuncoro (2007), pertumbuhan ekonomi Indonesia bercirikan consumption driven growth dibandingkan investment led growth. Pertumbuhan ekonomi diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan, dibandingkan hasil dari manfaat pembangunan dan keberhasilan pertumbuhan ekonomi khusunya pada sector lain yang masih rendah, serta pembangunan seperti pada kawasan timur Indonesia yang masih tertinggal. Pertumbuhan ekonomi masih jauh dari berkualitas karena kecenderungan masih adanya indikasi trickle up effect dalam proses pembangunan dimana terjadi ketimpangan distribusi pendapatan.
            Perekonomian Indonesia juga masih diwarnai pengangguran karena pertumbuhan penduduk yang padat dan tidak diseimbangkan dengan adanya lapangan pekerjaan yang mencukupi, sehingga penduduk usia produktif tidak memperoleh pekerjaan yang layak. Hal tersebut merupakan beban masyarakat serta menimbulkan kecenderungan persoalan social dan kriminalitas.
            Sector penanaman modal dalam negeri masih didominasi pemodal asing, yaitu sekitar 75%. Data BKPM hingga semester I tahun 2012, 54,9% PMA di Jawa, 24,2% di Sumatera, 14,5% di Kalimantan, dan sisanya di pulau lain. Di sector pendapatan, data Badan Pusat Statistik(BPS) mencatat adanya kesenjangan pendapatan di Indonesia cenderung meningkat. Hal ini dapat dilihat dari kenaikan rasio gini. Rasio gini yang yang membesar menunjukkan tingkat ketimpangan pendapatan.
            Tidak meratanya kondisi infrasruktur, sedikit banyak memberi kontribusi terjadinya ketimpangan pendapatan. Padahal dinamika aktivitas perekonomian perlu dukungan infrastruktur yang baik. Selain itu, model prioritas pembangunan fisik yang mempertimbangkan distribusi antar wilayah, tentu perlu diperhatikan. Hal ini dimaksudkan agar kesenjangan perekonomian antar daerah dapat dikurangi. Tidak dipungkiri, bahwa fakta selama ini menunjukkan kondisi infrastruktur di luar pulau Jawa masih tertinggal. Hal ini akibat adanya konsentrasi pembangunan yang terfokus di wilayah barat Indonesia, khususnya pulau Jawa.
            Terlepas dari fakta di atas, sebenarnya Indonesia mempunyai kesempatan besar dalam memaksimalkan perekonomian yang dapat menjadi kerangka dasar pencapaian kemakmuran Negara. Hal ini dapat ditilik bahwa Indonesia memiliki ekonomi berbasis pasar, dimana pemerintah berperan penting dengan kepemilikan ari 165 BUMN dan menetapkan harga beberapa barang pokok, termasuk bahan bakar, beras dan listrik. Dengan modal itu tentu saja prospek perekonomian Indonesia ke depan akan lebih menjanjikan dan dapata memberikan sandaran bagi rakyat Indonesia untuk menyongsong kehidupan yang lebih baik lagi di masa mendatang.

2.2. Gambaran Umum Perekonomian Indonesia
Berdasarkan pendekatan kronologis historis substansi perekonomian        Indonesia digolongkan menjadi :
a.       Masa sebelum terjajah (sebelum 1600)
b.      Masa penjajahan (1600-1945)
c.       Masa sebelum 1966 (sejak merdeka)
d.      Masa sesudah 1966 (orde baru)
e.       Masa sesudah orde baru (reformasi ekonomi)

2.2.1.  Era Sebelum 1966, Masa Peralihan 1966-1668, dan Era Pembangunan     Jangka Panjang

Era Sebelum 1966 (Masa Orde Lama)
Selama sekitar dua puluh tahun pertama merdeka, perekonomian Indonesia berkembang menggembirakan. Dimana, perilaku kenaikan harga-harga barang secara agresif sebenarnya sudah terlihat sejak tahun 1955. Ketika itu laju inflasi, diukur dengan Indeks Biaya Hidup di Jakarta, naik 33 persen. Berdasarkan ini mencapai angka 40 persen pada tahun 1958. Laju inflasi tahunan selama periode 1955-1960 rata-rata 23,5 persen. Menjelang tahun 1960 terlihat tanda-tanda inflasi mereda, namun ternyata kembali meningkat pada tahun 1961 dan bahkan berlanjut terus hingga tahun 1966. Pada tahun berakhirnya rezim orde lama ini, Indonesia menggoreskan catatan penting yang tak diinginkan dalam sejarah perekonomiannya: laju inflasi sekitar 650 persen.
Masa orde lama juga ditandai dengan berbagai fenomena ekonomi yang tidak menyenangkan seperti nasionalisme perusahaan-perusahaan asing, kekurangan capital, kebijakan anti-investasi asing, hilangnya pangsa pasar sejumlah komoditas dalam perdagangan internasional, dan tekanan atas neraca pembayaran yang mengakibatkan depresiasi rupiah.
Nasionalisme perusahaan-perusahaan asing dimulai pada tahun 1951, tetapi pelaksanaannya terjadi secara besar-besaran pada tahun 1958. Tindakan ini merupakan kelajutan pemberlakuan Undang-undang No. 78/1958 tentang investasi asing, yang intinya berisikan tentang kebijakan anti-investasi. Ketika itu tumbuh subur pandangan bahwa investasi asing bukan saja akan merupakan hambatan bagi pembangunan ekonomi Indonesia, tetapi bahkan bertujuan hendak menguasai kehidupan perekonomian.
Rezim orde lama juga membawa kejanggalan pada sistem moneter. Bank-bank pertama yang membentuk sistem moneter Indonesia adalah bank-bank asing hasil nasionalisasi kecuali Bank Negara Indonesia yang didirikan pada tahun 1946. Karena kejanggalan dalam sejarah sistem moneter Indonesia, maka pada tahun 1965, menteri untuk urusan Bank Sentral menggabungkan semua bank milik pemerintah (termasuk Bank Indonesia) kedalam satu wadah tunggal yang dijuluki “Bank Berjuang”. Tujuannya yaitu untuk mengelola dan mengendalikan langsung aktivitas dan sistem perbankan oleh hanya satu tangan yaitu pemerintah, sekaligus dalam rangka melaksanakan gagasan “ekonomi terpimpin” yang dilancarkan oleh pemerintah ketika itu.

MASA PERALIHAN 1966-1968
Menyusul kudeta komunis yang gagal dalam bulan September 1965, sebuah pemerintah baru tampil sejak maret 1966. Rezim baru ini mewarisi keadaan perekonomian yang porak poranda yang mana:
     a. Ketidak mampuan memenuhi kewajiban utang luar negeri lebih dari US$ 2 milliar,
     b. Penerimaan ekspor yang hanya setengah dari pengeluaran untuk impor barang dan jasa,
     c.  Ketidakberdayaan mengendalikan anggaran belanja dan memungut pajak,
     d.  Laju inflasi 30-50 persen per bulan, dan
     e. Buruknya kondisi prasarana perekonomian serta penurunan kapasitas                  produktif sector industry dan ekspor.
Untuk mengatasi keadaan diatas maka ditetapkan beberapa langkah prioritas kebijakan ekonomi berupa upaya-upaya:
a) Memerangi hiperinflasi,
b) Mencukupkan stok bahan pangan, khususnya beras,
c) Merehabilitas prasarana perekonomian,
d) Meningkatkan ekspor,
e) Menyediakan dan menciptakan lapangan kerja, dan
f) Mengundang kembali investasi asing.
Secara keseluruhan, program ekonomi pemerintah orde baru ini dibagi menjadi dua jangka waktu yang saling berkaitan yaitu jangka pendek dan jangka panjang (rencana pembangunan lima tahun/REPELITA).
Program ekonomi jangka pendek terdiri atas:
a.  Tahap penyelamatan (Juli – Desember 1966)
b.  Tahap rehabilitas (Januari – Juni 1967)
c.  Tahap konsolidasi (Juli – Desember 1967)
d.  Tahap stabilisasi (Januari – Juni 1968)
Dalam mendukung kebijakan jangka pendek, pemerintah memperkenalkan kebijakan anggaran berimbang (balanced budget policy). Sementara itu, berkenaan dengan beban utang luar negeri, terbentuk sebuah “konsorsium” Negara-negara donator bernama Inter-Govermental Group on Indonesia (IGGI).
Di sector moneter, dilakukan reformasi besar atas sistem perbankan. Bersamaan dengan itu, Indonesia kembali menjadi anggota International Monetary Fund (Indonesia keluar dari IMF pada bulan agustus 1965). Tiga undang-undang baru tentang perbankan diberlakukan yaitu:
a. Undang-undang tentang Perbankan tahun 1967
b. Undang-undang tentang Bank Sentral tahun 1968
c. Undang-undang tentang Bank Asing tahun 1968

ERA PEMBANGUNAN JANGKA PANJANG
    Pada masa Orde Baru, pembangunan ekonomi di dasarkan pada kebijakan berdasarkan konsep ” TRILOGI PEMBANGUNAN ”, yang mengandung  3 unsur pokok, yang mencerminkan 3 ( tiga ) segi permasalahan dalam pembangunan sebagai suatu proses kegiatan secara terus menerus.
1. Pemerataan : adalah suatu pembagian hasil produksi kepada masyarakat yang lebih merata, sehingga dirasakan keadilannya.
            2. Pertumbuhan Ekonomi : Menunjukkan usaha kearah peningkatan produksi secara keseluruhan dimasyarakat. Hasil produksi yang merupakan produksi nasional, membawa pendapatan bagi masyarakat melalui berjalannya mekanisme pasar.
            3. Stabilitas Nasional : Merupakan syarat pokok bagi upaya pembangunan yang berkesinambungan untuk mencapai ke 2 sasaran di atas, yakni,     kehidupan masyarakat dan negara yang stabil.

Trilogi Pembangunan, yang menempatkan pemerataan sebagai ” prioritas” mendapat banyak hambatan, terutama masih kaburnya tolok ukur atau indikator penentuan alokasinya, sehingga hasilnyapun sukar diukur atau bahkan mudah menyimpang. Oleh karena itu pemeratan hanya dapat dicapai melalui ” Delapan jalur pemerataan ” yaitu :
            1.  Pemerataan Kebutuhan Pokok rakyat
2. Pemerataan kesempatan untuk memperoleh pendidikan
            3. Pemerataan pembagian pendapatan, khususnya melalui usaha-usaha padat karya
            4. Pemerataan kesempatan kerja melalui peningkatan pembangunan regional
            5. Pemerataan dalam pengembangan usaha, khususnya memberikan kesempatan yang luas bagi golongan ekonomi lemah untuk memperoleh akses perkreditan dan penggalakkan Koperasi.
            6. Pemerataan Kesempatan berpartisipasi khususnya bagi generasi muda dan kaum wanita
            7. Pemerataan penyebaran penduduk melalui transmigrasi dan pengembangan wilayah
            8. Pemerataan dalam memperoleh Keadilan Hukum.

                 Maka sejak tahun 1969, Indonesia dapat memulai membentuk rancangan pembangunan yang disebut Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA). Berikut penjelasan singkat tentang beberapa REPELITA:
a.      REPELITA I (1969-1974)
Mulai berlaku sejak tanggal April 1969. Tujuan yang ingin dicapai adalah pertumbuhan ekonomi 5% per tahun dengan sasaran yang diutamakan adalah cukup pangan, cukup sandang, perbaikan prasarana terutama untuk menunjang pertanian. Tentunya akan diikuti oleh adanya perluasan lapangan kerja dan peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Program-Program yang dilaksanakan :
Rehabilitasi Ekonomi ;
Sarana penunjang produksi pangan ( Waduk, irigasi, dsb )
Prasarana angkutan (Jalan, Jembatan, Pelabuhan, dsb )
Kendala-kendala :
Kurang tersedianya dana pembiayaan pembangunan
Faktor penyebabnya :
Rendahnya tabungan dalam negeri
Rendahnya ekspor ( devisa sedikit )
Usaha yang dilakukan :
Pinjaman Luar Negeri
Menggalakkan Modal Asing
Melalui upaya-upaya yang telah dilakukan, maka selama PELITA I tersebut, angka pertumbuhan ekonomi Indonesia mencapai 8,40 % per tahun.
           Tantangan :
           Isu pemerataan
           Rendahnya penyerapan Tenaga Kerja

b.      REPELITA II (1974-1979)
Target pertumbuhan ekonomi adalah sebesar 7,5% per tahun. Prioritas utamanya adalah sektor pertanian yang merupakan dasar untuk memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri dan merupakan dasar tumbuhnya industri yang mengolah bahan mentah menjadi bahan baku.
Keberhasilan Pelita I, menimbulkan dampak terhadap ;
1.      Kesenjangan ekonomi
2.       Dominasi Modal Asing
Dengan kondisi seperti tersebut di atas, maka kebijakan pembangunan yang berpegang pada Trilogi, difokuskan kepada :
     1.  Pertumbuhan ekonomi
     2 . Pemerataan
3.      Stabilitas
Tantangan yang dihadapi :
1.      Makin melebarnya kesenjangan ekonomi
2.      Meningkatnya jumlah pengangguran
Usaha yang dilakukan :
       Memberikan kesempatan berusaha yang lebih luas kepada pengusaha-pengusaha Kecil, melalui beberapa kebijakan, antara lain ;
1.      Kebijakan Moneter ( KIK, KMKP, Penurunan Suku Bunga dsb )
2.      Devaluasi Rupiah, untuk merangsang ekspor

c.       REPELITA III (1979-1984)
      Prioritas tetap pada pembangunan ekonomi yang dititikberatkan pada sector pertanian menuju swasembada pangan, serta peningkatan industri yang mengolah bahan baku menjadi bahan jadi.
Dengan  makin gencarnya isue tentang kesenjangan ekonomi. Kesenjangan-kesenjangan nyata yang terjadi antara lain :
1.     Kesenjangan antar daerah dan antar sektor
2.     Kesenjangan tingkat pendapatan dan kesempatan kerja
3.     Kesenjangan antara Usaha Kecil dengan Usaha besar
4. Kesenjangan dalam memperoleh pendidikan, kesehatan, dan Peradilan/Hukum
Dalam upaya untuk mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik, dalam kurun tersebut, muncul beberapa kendalan/hambatan, antara lain ;
1.      Adanya resesi dunia
2.      Turunnya harga minyak ( karena Perang Teluk)
3.      Dampak devaluasi Rupiah yang masih terasa
4.      Inflasi di atas 20 % per tahun
Dengan adanya beberapa kendala tersebut, pemerintah terus berupaya agar perekonomian dapat berjalan dengan baik. Upaya yang dilakukan pemerintah dalam rangka mewujudkan kondisi perekonomian yang lebih baik, antara lain adalah :
1.       Meningkatkan Tabungan dalam negeri
2.       Melakukan devaluasi rupiah sebesar 28 %
3.   Melakukan deregulasi sistem plafon( pagu ) kredit, dan kebebasan menentukan tingkat Suku Bunga  bagi Bank-Bank umum.
4.     Peningkatan alokasi dana APBN & APBD bagi perluasan Kesempatan Kerja, Pendidikan, dan fasilitas Kesehatan.

d.      REPELITA IV (1984-1989)
Adalah peningkatan dari REPELITA III. Peningkatan usaha-usaha untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat, mendorong pembagian pendapatan yang lebih adil dan merata, memperluas kesempatan kerja. Prioritasnya untuk melanjutkan usaha memantapkan swasembada pangan dan meningkatkan industri yang dapat menghasilkan mesin-mesin industri sendiri.
Selama Pelita IV strategi pembangunan tetap berlandaskan kepada Trilogi Pembangunan, yaitu : Pemerataan, Pertumbuhan, dan Stabilitas. Namun upaya perbaikan kinerja perekonomian menghadapi kendala, yaitu;
1.       Turunnya harga Migas
2.       Turunnya Cadangan Devisa
3.       Krisis likuiditas perbankan akibat langkanya aliran dana masuk dari masyarakat
4.       Inflasi masih cukup tinggi ( 52,9 %)
5.       Kesenjangan makin melebar

Upaya yang dilakukan pemerintah antara lain ;
1.      Melakukan deregulasi ;
a.       Memberikan kemudahan impor bahan baku industri dalam negeri
b.      Memberikan kemudahan bagi Perusahaan PMA, untuk : melakukan pinjaman Bank, dan kegiatan distribusi barang & jasa.
2.  Melakukan Devaluasi Rupiah ( dari Rp 625/$ menjadi Rp.970/$, kemudian dari Rp.1.134/$ menjadi Rp.1.644/$, dengan Sistem Kurs bebas ) , yang bertujuan untuk meningkatkan Ekspor Non Migas, mengendalikan impor, dan meningkatkan penerimaan pajak.
3.   Melakukan kebijakan imbal beli (Counter Purchase)
Pembeli dari luar negeri diwajibkan membeli barang dalam negeri minimal = nilai yang di ekspornya.
4.   Memperlancar perizinan di bidang produksi, jasa  serta investasi.
5.  Mobilisasi dana di pasar uang ( dengan mempermudah persyaratan pendirian Bank umum,  perizinan, serta mengizinkan masuknya Modal Asing)
6. Deregulasi di Bidang perdagangan & hubungan laut ( berupa, penyederhanaan izin usaha, izin trayek, pembelian kapal, pengahapusan Tata Niaga Impor, penghapusan bea masuk & bea masuk tambahan )
7.       Penyederhanaan proses impor mesin.
8.       Penyederhanaan izin masuk dan bekerja bagi Tenaga Kerja Asing
9.      Dengan kerja keras, menghadapi berbagai kendala dan tantangan perekonomian global, akhirnya dalam kurun waktu tersebut, pertumbuhan ekonomi rata-rata mencapai di atas 7 % per tahun.


e.       REPELITA V
Pertumbuhan rata-rata 6,70% per tahun, dibandingkan rata-rata 5,32% dalam pelita sebelumnya. Ekspor komoditas nonmigas meningkat pesat, Indonesia bahkan mulai berhasil mengekspor berbagai produk industry. Periode ini mengantarkan Indonesia menjadi sebuah Negara industri baru (a newly industrialized country /NIC).
Dengan tetap berlandaskan pada Trilogi pembangunan. Pada Pelita V ini penekanan kebijakan diarahkan pada Pemerataan , dengan prioritas ” Sektor industri yang didukung oleh Sektor Pertanian ”
Kendala-kendala yang dihadapi :
1.      Munculnya Blok-blok Perdagangan Dunia ( AFTA, NAFTA, APEC, dsb )
2.       Persaingan bisnis makin kompetitif
3.        High Cost
4.       Kualitas SDM masih rendah
5.      Utang Luar negeri makin meningkat
Upaya yang dilakukan Pemerintah antara lain :
1.      Melakukan diversifikasi produk ekspor ( khususnya Non Migas )
2.       Melakukan deregulasi, antara lain ; tentang pengaturan Investasi Asing.

f.       REPELITA VI
Target-target yang dicapai pada repelita VI adalah:
1.      Pertumbuhan Ekonomi secara kelseluruhan 6,2 %
2.       Sektor Pertanian, Perikanan, dan Kehutanan 3,5 %
3.       Sektor Industri 9 %
4.      Sektor Manufaktur di Luar Migas 10,0 %
5.       Sektor Jasa 6,5%
6.       Laju Inflasi 5,0 %
7.       Eksport non Migas 16,5 %
8.      Eksport Manufaktur 17,5 %
9.      Debt Service Ratio 20,0 %
10.   GDP Rp. 2.150,0 triliun
11.   Nilai Investasi Rp. 660,1 triliun
Jik Dalam Pelita VI, kebijakan pembangunan dilandasi oleh Trilogi pembangunan, dengan tetap mengedepankan ” Pemerataan ”
Tantangan yang dihadapi antara lain,
1.      Income per Kapita masih rendah
2.        Laju pertumbuhan penduduk masih cukup tinggi
3.        Kesenjangan makin meningkat
4.       Bertambahnya jumlah penduduk miskin
5.        Rendahnya penyerapan Tenaga Kerja
6.        Rendahnya kualitas SDA dan lingkungan
7.        Masih tingginya Angka Kematian Ibu & Bayi

Melalui berbagai upaya/kebijakan yang dilakukan, selama Pelita VI, sasaran pertumbuhan ekonomi rata-rata di atas 6 %, dapat dicapai.
Maka ditarik kesimpulan maka pembangunan ekonomi menurut REPELITA adalah mengacu pada sektor pertanian menuju swasembada pangan yang diikuti pertumbuhan industri bertahap.
B. GEJOLAK POLITIK SEBELUM ORDE BARU
Secara politis, kurun waktu sejak kemerdekaan hingga tahun 1965 dapat dipilah menjadi tiga periode yaitu:
1. Periode 1945-1950,
2. Periode Demokrasi Parlementer (1950 – 1959), dan
3. Periode Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965).
a) Kabinet Hatta, Desember 1949 – September 1950
Kabinet Hatta merupakan satu-satunya kabinet dalam sejarah politik Indonesia yang dipimpin oleh pakar ekonomi professional, hal ini terlihat pada perhatiannya pada masalah-masalah ekonomi cukup besar.
Tindakan yang paling penting yang dilakukan kabinet ini adalah reformasi moneter melaui devaluasi mata uang secara serempak dan pemotongan (dalam arti harafiah) uang yang beredar pada bulan maret 1950. Pemotongan uang ini melibatkan pengguntingan menjadi separuh atas semua uang kertas keluaran De Javasche Bank yang bernilai nominal lebih dari 2,50 gulden Indonesia (sampai dengan 22 Mei 1951, saat De Javasche Bank dinasionalisasikan menjadi Bank Indonesia, mata uang Indonesia bernama gulden), dan pengurangan seluruh deposito bank yang bernilai di atas 400 gulden menjadi separohnya. Sebagai ganti rugi akibat tindakan yang terakhir ini, kepada pemegang depositonya diberikan obligasi jangka panjang pemerintah.
b) Kabinet Natsir, September 1950 – Maret 1951
Pada masa kabinet Natsir, Natsir dan kawan-kawan berhasil memanfaatkan situasi “perang korea” untuk keperluan pembangunan. Ekspor terdorong kuat sehingga mampu mengatasi kesulitan neraca pembayaran, sekaligus menaikkan penerimaan pemerintah. Impor diliberalisasikan sebagai upaya menekan tingkat harga –harga umum dalam negeri. Kredit bagi perusahaan-perusahaan pribumi diperlunak. Suatu kombinasi kebijakan fiscal yang ketat dan penerimaan yang tinggi sempat menghasilkan surplus anggaran yang cukup besar pada tahun 1951.
Pada masa kabinet ini pertama kalinya terumuskan perencanaan pembangunan, yaitu Rencana Urgensi Perekonomian (RUP).
c) Kabinet Sukiman, April 1951 – Februari 1952
Masa pemerintahan Sukiman mencatat beberapa peristiwa penting dalam sejarah perekonomian Indonesia. Diantaranya adalah nasionalisme De Javasche Bank menjadi Bank Indonesia (22 Mei 1951) dan memburuknya situasi fiscal. Menurunnya ekspor, sistem kurs berganda (multiple exchange rate system), yang telah menjebak sistem perekonomian sejak 1950.
d) Kabinet Wilopo, April 1952 – Juni 1953
Kabinet Wilopo memperkenalkan konsep anggaran berimbang (balanced budget) dalam APBN. Impor bukan saja diperketat, tetapi juga diharuskan melakukan pembayaran dimuka. Pekerjaan ekonomi besar yang dilakukan semasa Wilopo adalah “rasionalisasi” .
Strategi pembangunan ekonomi yang ditempuh oleh Wilopo juga tak berbeda dengan yang dijalankan oleh pendahulunya. Kabinet tetap melanjutkan Rencana Urgensi Perekonomian, temasuk Program Benteng yang merupakan upaya untuk membentuk sesuatu kelas menegah nasional dengan jalan membatasi alokasi impor hanya kepada pengusaha-pengusaha nasional. Program benteng yang merupakan bagian dari RUP ini bersifat diskriminatif-rasial. Efek merugikannya sangat dirasakan oleh golongan pengusaha (terutama importer) nonpribumi sejak pertengahan tahun 1953, akhir masa kerja Kabinet Wilopo.
e) Kabinet Ali I, Agustus 1953 – Juli 1955
Kabinet Ali I sangat melindungi importer pribumi, sangat menggebu-gebu untuk mengubah perekonomian dari struktur kolonial menjadi nasional. Ini terlihat sekitar lima bulan ia menjabat, jumlah pengusaha nasional yang tergolong kedalam “importer benteng” membengkak luar biasa. Dari 700 menjadi 4300 importer.
Ditinjau dari sisi fiskal, masa Sembilan bulan pertama kabinet ini bahkan dapat dikatakan sebagai katastropik. Kegagalan fiskal ini bahkan mengundang kecaman keras, sehingga Ali mengganti beberapa anggota utama kabinetnya. Karena goncangan kabinet, tindakan restabilisasi diarahkan pada pembatasan impor dan upaya ini cukup berhasil. Akan tetapi disis lain, upaya pengendalian laju uang beredar kurang sukses.
f) Kabinet Burhanuddin, Agustus 1955-1956
Tindakan ekonomi penting yang dilakukan Kabinet Burhaniddin diantaranya adalah liberalisasi impor (politik rasialisme terhadap importer dihapuskan). Pada saat yang sama, kebijakan pembayaran dimuka atas impor ditingkatkan. Laju uang yang beredar berhasil ditekan, berkurang sekitar 5 persen (senilai Rp 600 juta ketika itu). Begitu pula harga barang-barang eks impor, yang pada paruh pertama tahun 1955 telah naik hampir 13 persen. Nilai rupiah bahkan naik sekitar 8 persen terhadap emas.
Kabinet Burhaniddin dinilai berhasil dan konsisten dalam melaksanakan RUP. Pembangunan ekonomi relative berhasil berkat perluasan pembentukan modal melaui penyempurnaan Program Benteng, yakni dengan membentuk suatu Dewan Alat-alat Pembayaran Luar Negeri.
g) Kabinet Ali II, April 1956- Maret 1957
Ali Sastroamidjojo kembali naik panggung pemerintahan, dan merupakan cabinet hasil pemilihan umum pertama. Kabinet ini nyaris tak sempat berbuat apa-apa dalam bidang perekonomian. Dimana, penyeludupan merajalela sehingga merosotkan cadangan devisa dan defisit berat dalam anggaran Negara terjadi lagi. Setifikat pendorong Ekspor, yang sebelumnya sempat dibekukan dicairkan kembali. Utang pada belanda dihapuskan, sementara itu pemerintah menerima bantuan US$55 juta dari Dana Moneter Internasional (IMF). Undang-undang tentang penanaman modal asing diajukan ke DPR. Pada saat yang sama diberlakukan undang-undang anti pemogokan dan anti pemilikan tanah secara tidak sah. Undang-undang yang terakhir ini merupakan sebuah upaya untuk melindungi perkebunan-perkebunan yang sebagian besar dimiliki dan dioperasikan oleh orang asing.
h) Kabinet Djuanda
Semasa pemerintahan Djuanda dengan perekonomian yang bersifat terpimpin ini, instrument ekspor berupa Sertifikat Pendorong Ekspor (SPE) diganti/disederhanakan menjadi Bukti Ekspor (BE). Dalam bulan Desember 1957, dilakukan pengambilalihan (nasionalisme) perusahaan-perusahaan belanda. Kabinet Djuanda pun harus berjuang dan akhirnya kalah melawan gejolak keuangan pemerintah bahkan harus menanggung defisit anggaran sebesar Rp5,5 milliar, atau hampir 22 persen dari pengeluaran total pemerintah.
Kendati telah diwariskan rumusan Rencana Lima Tahun oleh Kabinet Ali II, bahkan disusul dengan pelaksanaan Musyawarah Nasional Perencanaan (Munap) pada bulan November 1957, namun cabinet ini tak dapat berbuatbanyak bagi pembangunan ekonomi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar